• Lombok, Nusa Tenggara Barat

Tuntutan Ringan Kasus Novel Baswedan, Ini Sosok JPU Dan Rekam Jejaknya


Tuntutan Ringan Kasus Novel Baswedan, Ini Sosok JPU Dan Rekam Jejaknya

Sesuai prediksi, terdakwa penyerangan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dituntut ringan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dua oknum anggota Polri, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, yang menjadi terdakwa dalam perkara itu hanya dituntut satu tahun pidana penjara atas perbuatan penganiayaan yang membuat mata Novel cacat tersebut.

Jaksa pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta membacakan amar tuntutan perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, kemarin (11/6). Dalam tuntutannya, jaksa menilai Ronny dan Kadir terbukti bersalah. “Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir dengan hukuman pidana selama satu tahun,” kata jaksa Kejati DKI Jakarta Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin.

Tuntutan itu dinilai menguatkan indikasi bahwa persidangan kasus penyerangan Novel hanya formalitas dan sandiwara hukum. Tim advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana mengatakan tuntutan itu bukan hanya sangat rendah, tapi juga memalukan dan secara nyata tidak berpihak pada korban. “Alih-alih dapat mengungkap fakta sebenarnya, justru penuntutan ini tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi,” ujarnya.

Sedari awal tim advokasi Novel telah mengungkapkan sejumlah kejanggalan persidangan. Salah satunya dakwan jaksa yang hanya menggunakan pasal 351 dan 355 KUHP terkait penganiayaan. Padahal, kasus penyerangan Novel pada 11 April 2017 itu dapat dikategorikan upaya pembunuhan. “Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana,” papar Kurnia.

Baca Juga:  Ini Tanggapan Ahok Soal Adik Iparnya Pacaran Pakai Mobil PJR

Kejanggalan lainnya terkait tidak dihadirkannya saksi-saksi penting di persidangan. Pantauan tim advokasi Novel, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tiga saksi itu pernah diperiksa penyidik Polri, Komisi Nasional (Komnas) HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Polri.

Tuntutan yang rendah dari penuntut umum itu, kata Kurnia, melengkapi kejanggalan-kejanggalan persidangan. “Saat persidangan pun jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Novel,” imbuh Kurnia. Sesuai ketentuan, jaksa mestinya menjadi representasi negara dan korban dalam mencari keadilan. “Bukan justru membuat perkara ini semakin keruh.”

Novel Baswedan menambahkan, persidangan yang sarat kejanggalan itu secara tidak langsung mempertontonkan kebobrokan hukum di Indonesia. Sebagai korban, Novel berharap mendapatkan keadilan seadil-adilnya dengan mengungkap persoalan teror itu secara terang di persidangan. “Bagaimana masyarakat bisa berharap mendapatkan keadilan dengan kondisi (hukum) demikian?,” tuturnya.

Baca Juga:  Video: Novel Baswedan Raih Penghargaan Antikorupsi Internasional Dari PIACCF Malaysia

Mantan perwira Polri itu pun meminta Presiden Joko Widodo untuk memberikan perhatian serius terhadap persoalan hukum saat ini. Sehingga ke depan persekongkolan dalam dunia hukum tidak lagi terjadi. “Saya melihat bahwa ini (kejanggalan persidangan kasus air keras) adalah hasil kerja Presiden Jokowi dalam membangun hukum selama ini,” tegas penyidik KPK yang menangani dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang menyeret Nurhadi tersebut. padek.jawapos.com

Merasa ada kejanggalan-kejanggalan dengan proses persidangan kasus Novel baswedan, kami mencoba menelusuri sepak terjang atau rekam jejak seorang jaksa penuntut umum Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin.

Dari hasil penelusuran kami menemukan sebuah artikel yang berjudul “Ada Jaksa di Muara Enim Ajak Lawan KPK, Kejati Sumsel: Tidak Ada Hubungannya Dengan Institusi”

Berikut kami kutip lansung dari tribunnews.com.

TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG – Seorang jaksa di Muara Enim Sumatera Selatan bernama Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin membuat heboh dunia maya pasca adanya penangkapan jaksa di Jawa Barat.

Ia mengajak untuk merapatkan barisan dan membela adanya dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat melakukan penggeledahan di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.

Baca Juga:  Saksi Ahli: Kerumunan Petamburan dan Megamendung Tidak Masuk dalam Pasal Penghasutan

“Kemana century, blbi, hambalang e ktp,, yg ratusan trilyun, ngapain ott kecil2 ,, kalo jendral bilang lawan, kita suarakan leebih keras perlawanan dan rapatkan barisan,” tulis Robertino yang diposting, Selasa (12/4/2016).

Gambar: Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin/Facebook.com

 
Kicauannya ditulis dengan tanda pagar safe Jaksa.

#kamiberduka #safeJaksa #tolakkriminalisasi#OTTuntukPencitraan KPk #PitaHitam#VIVAAdhyaksa

Kasi Penkum dan Humas Kejati Sumsel Hotma ketika dikonfirmasi terkait hal tersebut menuturkan, apa yang dilakukan jaksa di Muara Enim tersebut hanya menyuarakan hak pribadinya dan tidak ada sangkut pautnya dengan institusi.

“Meski dia jaksa, tidak ada hubungannya dengan institusi. Dari Kejari Muara Enim juga tidak ada laporan mengenai hal itu,” ujarnya.

Ketika adanya juga ajakan untuk mengenakan pita hitam dilengan kiri sebagai bentuk keprihatinan atas ditangkapnya jaksa oleh KPK, menurutnya itu juga tidak ada arahan dan itu murni dari pribadi si jaksa tersebut.

“Untuk lebih jelas, lebih baik langsung konfirmasi dengan kejari Muara Enim. Karena dari Kejati tidak ada pengarahan untuk melakukan itu atau laporan mengenai adanya hal itu,” ujarnya