• Lombok, Nusa Tenggara Barat
POLITIK DINASTI MENGGERUS DEMOKRASI

POLITIK DINASTI MENGGERUS DEMOKRASI

Kita kehilangan kata-kata untuk melukiskan kekecewaan mendalam atas pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon walikota Solo dan menantunya Bobby Nasution sebagai calon walikota Medan.

Pencalonan Gibran Rakabuming Raka calwalkot Solo menyeruak selepas Jokowi, secara kejam, meminta Achmad Purnomo (calon Walkot) yang jauh lebih berpengalaman dan berkualitas, mundur dari pencalonan untuk digantikan Gibran, anak ingusan yang tak tahu politik kecuali ambisi besar pada kekuasaan. Lebih tragis lagi, permintaan ini dilakukan Jokowi di Istana dan dibumbui politik transaksi dengan menawarkan jabatan kepada Achmad Purnomo sebagai kompensasi.

Dengan jiwa yang teraniaya, Purnomo terpaksa mundur. Teraniayanya jiwa Purnomo terlihat dari penolakannya terhadap jabatan yang ditawarkan Jokowi kepadanya. Ya, Purnomo tak bisa menerima ketidakadilan Jokowi dan Megawati terhadapnya.

Aturan PDIP menetapkan: DPC PDIP dapat menentukan sendiri calonnya di Pilkada kalau dalam Pilkada sebelumnya, PDIP di daerah tersebut berhasil meraup minimal 25 kursi. Faktanya, PDIP Solo berhasil meraih 30 kursi DPRD. Dengan demikian, mestinya Purnomo yang menjadi cawalkot karena ia dipilih DPC PDIP Solo. Namun, entah bagaimana, Megawati memilih Gibran dengan melanggar aturan partai sendiri. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap Akhyar Nasution kader tulen/militan dan termasuk unsur pimpinan dijajaran DPC PDIP Medan yang juga Plt Walikota Medan ini tidak juga mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP Pusat yang akhirnya diusung oleh koalisi dua parpol yakni PKS dan PD sebagai kenderaan Politiknya untuk maju dalam kontestasi Pilwalkot Medan.

Gibran sendiri melanggar sikap moralnya. Sekitar dua tahun lalu, Gibran menegaskan, jika ada anggota keluarganya yang terlibat politik, maka itu akan membuat rakyat susah. Dia sendiri mengaku tak tertarik terjun ke dunia politik karena berada di luar kemampuannya. Lebih jauh, ia mengatakan tidak mungkin bapaknya membangun politik dinasti karena partai pun Jokowi tak punya (kumparancom,11 Maret 2018).

Tidak lama berselang, apa yang dikatakannya dilanggar sendiri. Sikap tidak konsisten ini mirip dengan bapaknya. Sebagaimana kebiasaan Jokowi selama ini yang menerabas segala aturan, UU, bahkan konstitusi untuk mempertahankan kekuasaan, pencalonan Gibran pun digodok di Istana secara terbuka. Ini sangat tidak etis karena menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga.

Gibran bukan satu-satunya anggota keluarga dekat Jokowi yang akan bertarung dalam Pilkada akhir tahun ini. Di Kota Medan ada Bobby Nasution, menantu Jokowi yang bertarung di Pilkada Kota Medan; Wahyu Purwanto, adik ipar Jokowi, untuk Pilkada Kabupaten Gunung Kidul; dan Doli Sinomba Siregar, paman Bobby, untuk Pilkada Kabupaten Tapanuli Selatan. Kendati Jokowi membantah ini sebagai politik dinasti, sulit untuk mengatakan para calon yang tidak populer dan tidak jelas track-recordnya ini tidak memanfaatkan jabatan dan kekuasaan politik Jokowi. Jelas mereka, juga Jokowi, sadar ada efek Jokowi dalam pertarungan mereka.

Tidak mungkin Gibran, Bobby, Wahyu, dan Doli, akan mencalonkan diri dan dicalonkan parpol-parpol besar kalau mereka tak berkaitan dengan presiden yang sedang berkuasa. Alhasil, ini semua adalah politik aji mumpung. Dan hampir pasti, Pilkada di daerah tempat kerabat Jokowi bertarung tidak akan berjalan luber dan jurdil, tidak akan terjadi praktek demokrasi yang baik.

Bagaimanapun, dengan memberikan dukungan penuh dan terang-terangan pada kerabatnya untuk meraih kekuasaan menunjukkan Jokowi tidak tahu diri. Seolah-olah dia merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Dan kerabatnya juga merupakan aset yang akan menurunkan anugerah atas bangsa yang sakit ini. Jokowi tidak sadar bahwa sejak berkuasa pada 2014 bangsa Indonesia menghadapi musibah tak berkeputusan akibat salah urus negara.

Utang bertumpuk, kemiskinan meluas, korupsi dan oligarki merajalela, kebijakan publik simpang siur, KPK dikebiri, demokrasi lumpuh, dan pelanggaran UU serta konstitusi sangat vulgar – merupakan kondisi ciptaan rezim Jokowi yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Belum cukup dengan itu, kini ia membangun politik dinasti. Tidak ada preseden pemimpin Indonesia terdahulu melakukan nepotisme seluas dan seangkuh Jokowi. Bahkan diktator Soeharto pun baru mengangkat putrinya ke kursi menteri di penghujung kekuasaannya.

Anehnya, sebagian besar intelektual masih menganggap semua ini sebagai hal yang normal. Memang Konstitusi tidak melarang kerabat Presiden bertarung dalam kontestasi Pilkada. Namun, ini tidak etis dan amoral. Apa yang tidak dilarang Konstitusi belum tentu sesuai dengan norma dalam masyarakat. Negara demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik jika pemimpin tertingginya bukan saja tunduk pada UU dan Konstitusi, tapi juga berkomitmen pada aturan-aturan etika dan moral yang tidak tertulis. Dalam banyak hal, norma-norma tidak tertulis inilah yang lebih menjamin keberlangsungan hidup suatu bangsa.

Akhirnya, kita hanya bisa menangisi perilaku buruk Jokowi dalam politik. Luar biasa tebal mukanya menjalankan roda pemerintahan seperti menjalankan perusahaan milik keluarga. Tak peduli pada kritik dan tangisan rakyat yang disebabkan inkompetensi dan keculasannya.

Tidak benar sanjungan para buzzer bayaran bahwa Jokowi adalah sosok yang sangat peduli pada rakyat, polos, dan tidak ambisius. Yang terjadi justru sebaliknya. Ia sangat menikmati kekuasaan dan hendak mengukuhkannya melalui politik dinasti. Jokowi juga sangat pro-pemodal yang terlihat dari sejumlah kebijakannya yang memanfaatkan pandemi covid-19.

Saya tidak tahu sampai kapan rakyat Indonesia sanggup menoleransi luka batin yang mereka pikul. Yang saya tahu, selama Jokowi berkuasa, rakyat masih akan menyaksikan kebijakan-kebijakan culas dan sesat. Memang tidak mungkin rezim yang lahir dari kecurangan akan menghasilkan kebijakan yang benar dan bermoral.

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Ariadi Adi Msi