• Lombok, Nusa Tenggara Barat

Kisah Nyata Dhena Fadhilah: Seberapa Miskin Kamu?


Kisah Nyata Dhena Fadhilah: Seberapa Miskin Kamu?

LOMBOK GROUP, NEWS – Sebelum mulai mendeskripsikan seberapa miskinnya aku, aku ingin menjelaskan latar belakang keluargaku dulu, karena mungkin itulah penyebab kami miskin, karena terlalu banyaknya kebutuhan. Huhu

Ini akan sedikit panjang, silakan skip jika tidak berkenan. šŸ™‚

Tapi mudah-mudahan teman-teman bisa mengambil hikmah dari apa yang akan aku ceritakan.

*****

Foto: Dhena Fhadilah beserta saudara-saudara perempuannya.

Aku adalah seorang perempuan, anak ke 7 dari 13 bersaudara. 7 perempuan dan 6 laki-laki. Satu anak (ke 9) wafat ketika masih bayi.

Mamaku melahirkan dengan selisih 2-2,5tahun. Mungkin karena kurangnya wawasan tentang program KB di jaman dulu, jadi pasrah aja punya banyak anak. :’)

Saking seringnya lahiran, kami tidak pernah tau proses kehamilan Mama, karena Mama selalu pakai daster, dan hamil atau tidak hamil beliau selalu tampak kuat, selalu mencuci pakaian bergunung-gunung ke sungai, memasak porsi sangat banyak subuh-subuh dengan tungku bakar.

Mama bekerja 24 jam sehari karena punya anak yang masih kecil-kecil. Dan semua pekerjaan dilakukan secara konvensional. Mamaku tidak kenal apa itu rebahan, mager, ga mood, manja, dll..

Anak mencret, ngompol malam-malam sudah terbiasa bangun malam dan mencuci ke sungai karena kami tidak punya kamar mandi.

Untuk sekedar beribadah saja rasanya sangat sulit karena rumah selalu dikelilingi dengan pipis anak, di lantai, di kasur, ketika bekerja sambil menggendong, tiba-tiba punggungnya dipipisin. Jadi harus berkali-kali mandi, itupun harus buru-buru sholatnya karena anak-anaknya rewel.

Sekalipun begitu Mamaku tidak pernah mengeluh dalam kondisi apapun sesulit apapun.

Bahkan ketika hamil Mamaku tetap menyusui anak terkecil (breastfeeding while pregnant) sampai si bayi lahir. Jadi praktis Mamaku menyusui tanpa jeda yang berarti selama 32tahun. :’)

Saking tidak pernah menyadari Mama hamil, pernah disuatu malam tiba-tiba ada suara bayi menangis di kamar sebelah. Yaa.. lagi-lagi kami punya adik bayi. Dari 13 kali, hanya 4 kali Mama lahiran di bidan/RS.

Abahku adalah seorang Ustadz kampung yang dibayar seikhlasnya setiap mengisi undangan tausyiah, tukang service elektronik, sekaligus guru SMP dengan honor dibawah 500 ribu rupiah per bulan, dan harus menghidupi selusin anak.

Mamaku adalah seorang ibu rumah tangga yang hatinya seperti Ibu peri. Beliau adalah representasi wonderwoman sesungguhnya di mata anak-anak nya.

Beliau jadi yatim piatu di usia 2 tahun, karena ayah ibunya meninggal bersamaan saat rumahnya ludes terbakar. Beliau dan adik bayinya selamat karena ‘dilempar’ oleh orang tuanya lewat jendela.

Mama dirawat oleh seorang kerabat. Dan adiknya dirawat oleh kerabat yang lain.

Kemudian Mamaku menikah di usia 13tahun dan Abahku 22 tahun.

Dan selama aku hidup dengan mereka, aku tidak pernah sekalipun dengar mereka ribut apalagi bertengkar tentang apapun.

Mama adalah istri yang sangat taat pada suami, sabar dan legowo, juga sangat keibuan. Abahku adalah sosok yang sangat bertanggungjawab dan mencintai keluarganya.

Hanya saja, keadaan memang memaksa kami untuk hidup serba kekurangan.

*****

Foto: Mama dan Abah Dhena saat mengaji di kamar

Kemudian, seberapa miskinnya kami?

-Ketika aku mulai sekolah SD, aku tidak punya seragam baru, dan perlengkapan sekolah baru. Aku pakai warisan kakakku yang itu pun warisan dari kakak sebelumnya yang mana bajunya sudah mulai menguning, resleting rok nya copot dan hanya pakai peniti. Penampilanku sama sekali tidak estetik.

-Semua alat tulis seperti buku dan pensil adalah bekas kakakku. Aku tidak pernah punya buku baru seutuhnya. Aku juga tidak pernah punya penghapus, hanya cukup pakai karet gelang yang diikatkan di ujung pensil.

-Ketika mulai menulis dengan pulpen di kelas 4, aku hanya mampu beli lidi nya, tidak mampu beli pulpen.

-Aku bisa pakai seragam baru saat kenaikan kelas 3, itu pun di hari raya idul fitri. Jadi saat hari raya itu, aku pakai seragam baru merah putih sebagai baju lebaran ketika teman-temanku memakai rok-rok cantik berwarna-warni. Aku tidak malu, justru sangat senang. šŸ™‚

Mungkin abahku berpikir sambil menyelam minum air. Wkwk

Jadi sudah pasti kalau sekedar baju baru, kami hanya membelinya setahun sekali saat lebaran. Itupun hanya baju-baju super murah.

-Selama 3 tahun awal sekolah aku tidak pernah pakai sepatu karena tidak punya (Nyeker).

Sekalinya punya sepatu di kelas 4, aku pakai sampai kelas 6, itupun dengan kondisi jempolku keluar dan bagian tumitnya mangap-mangap setiap kali aku melangkah. Ujung-ujungnya ya harus nyeker lagi sampai lulus.

-Aku pernah menangis berguling-guling seharian karena minta jepit rambut kupu-kupu seperti teman-teman tapi tetap tidak dibelikan karena Mama ga punya uang. Ada kalanya aku berpikir Mamaku sangat jahat. Padahal aku jarang sekali minta sesuatu karena sudah pasti tidak dikasih.

Baca Juga:  Kisah Dramatis Seorang Berkebutuhan Khusus Masuk Islam di Mualaf Center Indonesia (MCI)

-Aku pernah makan mangga bekas gigitan temanku yang tinggal biji (pelok) dan serat-seratnya yang sudah hambar karena saking ngilernya liat dia makan dan rela makan bekas ludahnya.

Aku kadang iri dengan temanku yang ini karena dia anak orang berada, uang sakunya banyak, dan selalu makan enak.

-Sementara aku jarang sekali diberi uang saku, hanya diberi sesekali itu pun hanya bisa untuk membeli sebungkus pilus atau 2 keping opak singkong.

-Kami sering makan nasi jagung, dan paling sering makan ubi, talas, singkong kukus sebagai pengganti nasi.

-Ketika makan, dirumahku sudah terpatri budaya ā€˜catuā€™ atau jatah. Nasi secentong dan 2 buah tempe goreng misalnya, agar semuanya kebagian. Dan Mama sangat adil dalam pembagian.

-Saat Abah pulang dari pengajian, walimahan atau tahlilan, kami akan sabar menanti berkat (kalau di kota mungkin sejenis nasi box), dan sebutir telur rebusnya dibagi 8 biar adil. Telur itu salah satu makanan mewah untuk kami. Kami bisa makan telur 1 butir sendirian biasanya hanya saat bulan ramadhan dan kenaikan kelas. Atau saat Abahku ada rezeki lebih.

-Selama menjadi anak-anak aku tidak pernah minum susu, walaupun hanya skm sasetan. Ingin sekali rasanya minum segelas susu sendirian seperti di iklan-iklan TV yang aku tonton. Sekalinya diberi susu kental manis yang dicampur lagi dengan gula dan warnanya juga tidak lagi putih, itupun hanya saat diberi campuran obat cacing oleh Mama. (Bener-bener jebakan betmen). Satu saset skm dibagi 4 gelas itu jadilah air gula rasa susu. :))

-Aku hampir selalu sarapan dengan nasi dan 2 buah gorengan dage atau randem sebagai lauk. Dage atau randem adalah limbah/ampas tahu btw. Mungkin seperti oncom kalau di kota. Tapi lebih rendah lagi derajatnya. Wkwk

-Mamaku sudah biasa menahan lapar demi anak-anaknya, selalu pura-pura sudah makan duluan padahal belum. Seringnya menunggu sisaan anaknya yang makan tidak habis.

-Kami pernah makan hanya dengan terasi goreng karena tidak punya uang untuk membeli bahan lauk.

-Kami juga pernah makan hanya dengan tumbukan cabai garam karena tidak punya lauk. Kalau makan cuma pakai kecap rasanya sudah terlalu biasa.

-Mamaku terkenal sebagai tukang ngutang di warung atau toko, sering ngutang beras dan sembako. Sampai suatu hari pernah dimaki-maki si Ibu empunya toko karena belum bayar utang sudah ngutang lagi. Suaminya pun ikut-ikutan merendahkan Abahku. Tampaknya itu yang paling membuat Mamaku sakit hati.

-Suatu malam pernah kami mengeluh lapar tapi Mama tidak punya apapun untuk dimakan, jadi Abah pergi kerumah kerabat seorang tukang daging, untuk meminta lemaknya (gajih dalam bahasa Jawa).

Saat pulang, Abah dengan sumringahnya bilang kalau malam itu kita akan berpesta sate.

Pastilah kami senang bukan main dan semangat untuk bakar sate bareng-bareng, walaupun kami heran kenapa sate-sate itu terus meleleh ketika dibakar. Kami tetap senang saat makan sate-sate itu dan merasa rasanya sangat enak.

Tapi saat menjelang tidur kami tidak bisa tidur karena sibuk menjilat-jilat langit-langit mulut karena terasa tebal dan tidak nyaman. Kami mengeluh pada mama Abah tapi mereka hanya tertawa dan menyabarkan, walaupun mungkin dalam hati nyesek banget.huhu

-Selama SD aku hampir tidak pernah pakai celana dalam. Sampai seringkali jadi bahan olok-olokan. Ketika aku berdiri rokku disingkap dan jadi bahan tertawaan teman-teman, tapi waktu itu belum ada istilahh bully apalagi sexual harassment, jadi aku biasa aja. Wkwk

Sepertinya Mama tidak pernah kepikiran beli celana dalam untuk anak-anak perempuannya karena itu hanya kebutuhan ā€˜tertierā€™. Apalagi kaos dalam. Aku mulai pakai underwear saat mulai masuk SMP.

-Ayam atau daging adalah makanan super mewah untuk kami, kami hanya makan setahun sekali saat idul fitri dan idul adha.

-Mie instan juga makanan sangat mewah untuk kami, biasanya saat Mama masak mie, kami sangat bahagia. Padahal itu pun sebungkus mie dicampur dengan banyak kol dan dibuat satu panci. Praktis masing-masing anak paling hanya mendapatkan berapa helai mie.

-Aku dan saudara-saudaraku hanya bisa makan mie instan satu bungkus sendirian hanya setiap satu cawu/catur wulan (4bulan) sekali sebagai hadiah juara 1. Jika juara 2 pun tidak dapat.

-Fyi, anak-anak Mama Abah semuanya berprestasi. Jadi juara kelas sudah jadi langganan. Selama menjadi siswa SD, aku mendapat 16 kali juara 1 (dari 18 cawu). Aku selalu menjadi lulusan terbaik saat SD SMP maupun SMA. Begitu juga dengan saudaraku yang lain. Untuk sekolah, kami sering mendapat beasiswa walaupun hanya potongan. Itu pun masih selalu nunggak dan sering dapat teguran.

Baca Juga:  Seorang Warganet Lapor Ke Karni Ilyas Hendak Jual TV Untuk Pengobatan Keponakan, Ini Tanggapan Pak Karni

-Keluargaku tidak pernah punya kendaraan. Kakak-kakakku yang sudah mulai SMP SMA harus berjalan kaki ke kota sekitar 7km dengan rute naik turun karena kami tinggal di daerah pegunungan.

-Saat silaturrahmi lebaran, untuk ke rumah Nenek yang jaraknya jauh sekali di pegunungan lain kami tempuh dengan jalan kaki pulang pergi melewati hutan pinus. Naik ojek atau angkutan umum adalah peristiwa langka bagi kami.

-Saat mulai haid, aku tidak pernah sekalipun pakai pembalut, sama sekali tidak masuk kebutuhan. Untuk minta uang ke Mama beli pembalut aja aku segan. Aku hanya pakai sobekan-sobekan kain bekas, kadang pakai kaos kaki bekas.

(Sebenernya bagian ini paling menyedihkan menurutku). :’)

-Saat SMP SMA Aku sudah biasa saat istirahat tidak ikut ke warung bersama teman-teman untuk jajan karena tidak punya uang saku.

-Kami tidur beralaskan kasur yang sering dipenuhi kutu busuk karena saking lamanya tidak diganti dan hanya kasur murahan jadul yang sama kerasnya dengan lantai.

-Saat sekolah aku tidak punya botol minum, jika harus membawa bekal minum aku akan pakai botol bekas air mineral yang sudah berkali-kali isi ulang sampai warnanya jadi kekuningan.

-Keluargaku tidak punya TV ataupun tape. Hanya ada radio jadul. Ketika ingin nonton TV kami akan bergerombol numpang nonton di rumah tetangga. Kadang cuma nonton lewat jendela rumah orang, yang penting bisa sesekali nonton TV.

-Abahku pernah diancam dibunuh karena difitnah masalah keuangan sampai Mamaku depresi. Padahal saat itu Mamaku baru saja melahirkan. Efek depresi ASInya menjadi kering dan akhirnya adik ke-9 ku wafat di usia 45 hari.

-Sampai SMP aku hanya pakai benang di telinga ku karena Mama tidak mampu membelikan anting. Sekalipun pernah pakai anting itu hanya titipan sesaat sebelum dijual lagi. Aku merasakan berkali-kali tindik sampai usia remaja karena lagi-lagi lubang tindikan di telingaku rapat.wkwk

-Saat SMA aku iri sekali dengan teman-teman yang punya lubang tindik telinga dan bisa memakai anting-antingan yang lucu-lucu. Saat itu aku sudah trauma lagi-lagi harus ditindik.:))

Dan masih banyak lagi cerita-cerita kemiskinan keluargaku yang lebih dramatis daripada yang aku ceritakan.

Tapi hidup Mama Abahku itu seperti Peribahasa ā€œBersakit-sakit dahulu bersenang kemudianā€.

Kami memang miskin sekali saat itu tapi yang aku ingat kehidupan kami sangat bahagia karena memiliki orang tua yang hangat dan penuh kasih sayang. Bahkan aku tidak pernah berpikir bahwa hidupku malang atau tidak beruntung karena mendapatkan banyak kasih sayang dari orang tua dan keluarga. Mama Abahku punya anak sangat banyak tapi tidak ada satupun yang merasa kurang kasih sayang. Tidak ada satu pun dari kami yang gagal dididik oleh mereka. Bahkan keluargaku terkenal sebagai keluarga yang penuh tata krama.

Satu hal yang paling aku ingat ketika Mama merasakan sangat sedih dengan kondisi kami, beliau selalu bilang, ā€œKelak kalian bisa makan kenyang, hidup enak, mau apa aja bisa terwujud, jangan sampai ada yang seperti Mama. Cukup semua kesusahan buat Mama aja.ā€ Bahkan Mama berharap bahwa kami kelak jangan punya anak banyak-banyak, cukup Mama yang merasakan sakitnya kemiskinan. Itu artinya sekalipun Mama tidak pernah mengeluh, pasti berat sekali apa yang beliau jalani.

Ekonomi kami mulai bangkit sedikit demi sedikit saat satu per satu kakak tertua lulus dan merantau.

Saat itu akak sulungku (laki-laki) diangkat sebagai supervisor perusahaan Fujifilm. Beliau bekerja keras untuk membantu perekonomian orang tua dan menghidupi adik-adiknya yang super banyak.

Apapun beliau lakukan untuk membahagiakan orang tua dan adik-adiknya agar bisa hidup lebih layak.

Begitupun dengan kakak kedua, ketiga, dan seterusnya. Begitu lulus mereka bekerja keras untuk membahagiakan orang tua dan saudara-saudaranya.

Tapi sekalipun kakak-kakakku sudah bekerja, kami hanya bisa merangkak sedikit demi sedikit, karena anggota keluarga kami terlalu banyak, hutang Mama Abah juga banyak. Tapi setidaknya kami nggak miskin-miskin amat walaupun masih tetap saja bukan tergolong orang mampu. Huhu

Masa kuliah aku lakukan sambil bekerja agar tidak terlalu membebani kakak yang membiayai kuliahku. Siang hari bekerja, pulang kerja langsung kuliah sampai malam.

Sampai di dunia kerja aku masih saja miskin setidaknya untuk diriku sendiri.

Saat jam istirahat kerja ketika teman-teman mengajak untuk makan di resto tertentu, aku lebih memilih pulang ke kost-an (jarak kantor dan kost sangat dekat), aku makan di kost an dengan membeli lauk di warteg dan nasinya masak sendiri dengan magic com, jauh lebih hemat. Aku terbiasa sangat irit, pagi sarapan dengan 2 lembar roti tawar yang diberi mentega. Makan siang aku beli lauk matang di warteg atau masak mie instan dan malam seringnya nggak makan atau sekedar makan camilan.

Baca Juga:  Ilmuan Matematika Kelas Dunia Dari Indonesia "TERORIS MATEMATIKA"

Aku juga selalu pakai baju itu-itu saja, nggak pernah belanja keperluan pribadi karena selain untuk sewa kost dan makan, semua gajiku aku kirim ke Mama sebagai tabungan renovasi rumah kecil-kecilan.

Jangan tanya apa itu Starbuck, mau makan di KFC aja aku sayang. Wkwk

Jadi, mungkin karena sudah terbiasa hidup sangat susah dulunya, mindsetku terlanjur terbentuk sayang sekali kalau mau makan di tempat mahal yang rasanya juga sama aja dengan makan di pinggir jalan. Mungkin aku adalah salah satu manusia paling perhitungan untuk diriku sendiri. :))

Bahkan sampai sekarang, aku tidak pernah makan di PH, AW dan brand-brand ternama lainnya terlepas aku mampu atau tidak. Mental miskinku sudah mendarah daging. Wkwk

Fyi, selama kurun waktu belasan tahun itu, rumah Mama sudah mengalami beberapa kali renovasi berkat bantuan kakak-kakakku. Mama juga mulai melunasi hutang-hutangnya, membeli alat-alat elektronik dan perabotan baru.

Foto: Rumah Mama dan Abah Dhena setelah direnovasi.

Kami juga selalu membelikan Mama Abah baju-baju yang bagus dan keinginan apapun yang belum terwujud. Contohya Mama yang ingin sekali memakai giwang (anting), dan tentunya kami belikan perhiasan lain. Dan keinginan Abah untuk memiliki dompet (Abah nggak pernah punya dompet seumur hidupnya karena emang ga pernah punya duit, wkwk) , membelikan handphone, bahkan membelikan Abah sepeda motor untuk pulang pergi mengajar. Itu sepertinya masa-masa paling membahagiakan dalam hidup beliau.

Dan banyak hal yang kami lakukan untuk membahagiakan Mama Abah di masa tuanya.

Mungkin semua anak Mama Abah hanya punya passion untuk membahagiakan orang tua kami. Jadi kami sering mengabaikan kebutuhan kami sendiri demi mereka. Tidak mengapa kami terkesan miskin sekali hidup di ibu kota, setidaknya ekonomi Orang tua mulai membaik.

Dan saat Abahku wafat di usia 62tahun di tahun 2014, kami semua sudah dalam kondisi ekonomi stabil dan makmur. Abah sudah menyaksikan ke tujuh anaknya berkeluarga dan hidup berkecukupan. Adik-adikku sudah cukup besar dan ada kami kakak-kakaknya yang mampu membiayai pendidikan mereka. Setelah Abah wafat kami jauuh lebih menyayangi dan memanjakan Mama.

Termasuk memberangkatkan Mama ke Mekkah sebagai pengobat duka karena ditinggal Abah.

Puncak kebangkitan ekonomi Mama (bahasa gue yampun -_-) adalah saat Adikku (anak ke 8) bekerja di Jepang. Adikku bekerja banting tulang di Jepang selama 3tahun dan semua tabungannya untuk Mama. Mamaku bisa membeli motor baru untuk adik-adikku sekolah dan kuliah, bisa membeli berbagai perabot bagus, membeli perhiasan mahal, merenovasi rumah besar-besaran, bahkan Mama kini menjadi tempat orang-orang yang ingin berhutang ketika dulu Mamaku adalah tukang ngutang.

*Iklan, ada sedikit kisah bak kisah Indosiar disini. Tidak aku lebihkan atau kurangkan.

Si Ibu pemilik toko yang aku ceritakan sebelumnya memaki-maki mamaku karena lagi-lagi ngutang, sekarang justru hidupnya berbanding terbalik. Dulu beliau salah satu orang paling kaya di kampung kami. Tapi kemudian suaminya selingkuh hingga menghamili abege dan akhirnya menikah. Setelah cerai tokonya bangkrut, kehilangan rumah, tanah dan semua hartanya. Mantan suaminya wafat terkena stroke karena diselingkuhi istri mudanya. Karena jarak pasutri ini 30tahunan. Istri muda ini yang dikira akan bahagia mendapat warisan ternyata terusir karena bahkan rumah tersebut sudah atas nama orang lain dan akhirnya pulang ke orang tuanya dengan anaknya tanpa harta sedikitpun. :ā€™)

Sekarang, si Ibu ini merasakan menjadi orang susah dan sering datang kerumah untuk meminjam uang. Dan sikapnya ke Mama berubah 180Ā°.

Orang yang pernah memfitnah dan mengancam membunuh Abahku sampai Mamaku depresi dan kehilangan bayinya, beberapa tahun kemudian ditinggal wafat salah satu anaknya, kemudian istrinya. Dia juga kehilangan pendengaran. Di masa tuanya hartanya jadi perebutan warisan anak-anaknya. Keluarganya berantakan sampai akhirnya beliau wafat.

Sementara sebaliknya, Mamaku kini hanya ongkang-ongkang kaki di masa tuanya.

Apapun yang beliau inginkan, anak-anaknya pasti berusaha untuk memenuhinya. Kami berebut untuk membahagiakan Mama dengan cara kami masing-masing.

Dan kini beliau bisa fokus ibadah dan melakukan hobinya, menjahit, bercocok tanam, dan takliman. Sesuatu yang dulu tak pernah sempat beliau lakukan.

Segala lelah telah sirna walaupun menyisakan tenaga yang tidak lagi kuat seperti dulu.

Mamaku sekarang menjadi seseorang yang lebih dipandang dan dihormati. MasyaAllah Alhamdulillah.

Foto: Surprise di ulang tahun Mama Dhena yang ke-60 Tahun

Sumber: https://id.quora.com/Seberapa-miskin-kamu/answer/DHena-FadHilah?