Pro-Kontra Pergantian Nama Bandara Lombok, Siapa M. Zainuddin Abdul Majid?? Simak Ulasannya
MAULANA SYAIKH MILIK SIAPA?
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Jangan dilupakan Maulana Assyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah orang yang berjasa mengenalkan NOE [sekarang NU] kepada masyarakat NTB. Almagfurlahu yang menjadi ketua panitia pembukaan wilayah NU untuk daerah Sunda Kecil. Hal yang sama juga dilakukan untuk Ormasy Muhammadiyah.
Memasuki tahun 1983-an, di masa Pak Alamsyah Ratoe Perwira Negara menjadi menteri Agama, Maulana Assyaikh juga memperkenalkan Matlaul Anwar di NTB, kemudian berikutnya Tarbiah Islamiyyah ketika Pak Menteri Agama Munawwir Syazali sering berkunjung ke Lombok.
Begitulah mentalitas muslim sejati yang telah dicontohkan kepada kita untuk kita tiru dan teladani. Ormasy keagamaan harus memberi contoh bagaimana sama-sama saling menghormati karena visi dan missi yang sama. Organisasi hanyalah kendaraannya saja, bukan agama. MAKA BAGI SAYA, YANG SEHARUSNYA BERHULTAH “SAAT INI” BUKAN HANYA ANGGOTA NW, Tetapi semua Ummat Islam Indonesia. Atau setidak Ummat Islam NTB.
Ada anggota FDMN yang bertanya di forum tentang: mengapa NW harus dibuat di NTB? Atau mungkin lebih tegasnya mempertanyakan mengapa Maulana Assyaikh tidak mencukupkan saja dengan ormasy yang ada? Pertanyaan seperti ini dapat difahami sebagai suatu bentuk kecemasan yang diakibatkan oleh kekaburan pradigma yang digunakan memandang eksistensi sebuah organisasi keagamaan. Hal ini diperkuat pula oleh meruyaknya politisasi “segala hal” sehingga apapun bentuk suatu persatuan akan cenderung menimbulkan perpecahan dan pengkotakan ummat.
Teori antropogi-sosial Ibnu Khaldun yang diakui keberlakuannya oleh berbagai pakar antropologi-sosial dunia adalah bahwa: “Setiap nilai memerlukan kendaraan untuk membumikannnya, dan setiap wilayah memiliki tipicalnya yang khusus dalam mengejawantahkan nilai-nilai tersebut. maka bentuk terrimplementasi dari sekumpulan nilai-nilai akan menapilkan warna lokalistic namun namun tidak terkeluar dari essensinya”
Implementasi global Nilai-nilai Islam [misalnya] untuk scup Indonesia tentu memerlukan LEMBAGA-LEMBAGA YANG INDONESIAWY. Namun kita semua tahu Indonesia bukanlah SATU WARNA saja, maka para genius lokalpun berijtihad membentuk media perkenalan itu sesuai dengan tradisi dan kultur dimana mereka berada. Maka itu muncullah NU di Jombang [Jatim], Muhammadiyah di Jogya [Jateng], Persis di Jabar, Mathla’ul Anwar di Sumatera dll. Pertanyaan besarnya kemudian adalah: Apakah NTB tidak memiliki Genius lokalnya sendiri? yang dapat meramu cara Dakwah Islamiyyah Ala Indonesiawy dan Lokaly?
Para Genius lokal tersebut tidak selesai tugasnya setalah mendirikan Organisasi mediasi dakwah ala lokal itu, tetapi berkewajiban :
1. Meletakkan posisi organisasi itu sebagai kendaraan dakwah yang bervisi dan bermissi TAK BERBEDA dengan ormasy lainnya yang telah ada di daerah lain;
2. Merumuskan konten2 ajaran yang menjamin arganisasi lokal itu dapat dirunut substansinya sampai ke puncak sumber nilai asalnya Islam [Qur’an dan Sunnah];
3. Menyediakan jalur-jalur komunikasi agar para anggota/jamaahnya bisa bekerja sama dengan ormasy keagamaan lain yang berdiri di daerah lain.
Sebagai pendiri dan poenanggung jawab NW, Maulana Assyaikh sudah menuntaskan tugas-tugas beliau dengan baik. [seketerbatasan saya, dapat saya simpulkan beberapa hal] al:
a. Memfasilitasi perkenalan ormasy keagamaan yang berdiri diluar NTB;
b. Dalam susunan do’a-doa, selalu mendoakan juga ormasy lain;
c. Mengirim kader untuk belajar di pusat-pusat pendidikan ormasy lain di luar NTB.
d. Membesarkan rasa percaya diri masyarakat NTB, bahwa dalam hal kebaikan, kita juga tidak ketinggalan dapat pula menjawab tantangan dengan cara yang sesuai dengan kultur dan tradisi sendiri.
Satu lagi pertanyaan Anggota FDMN yang memerlukan penjernihan: ” Apakah NW sektarian?” Jawabnya tidak. Jelas sekali tidak ada agama yang berdiri di gumi Sasak ini. Agama Bangse Sasak adalah Islam yang satu itu, yang dibawa Muhammad Rasulullah itu. Tidak lain.
Maulana Syaikh juga adalah salah seorang Anggota konstituante Masyarakat Indonesia Timur mewakili Republik Indonesia Serikat, maka NTB adalah bagian dari Indonesia. Tidak ada negara lain yang diperjuangkan melalui NW itu selain Indonesia Raya itu. Dan ketika didalam sebagian besar doa-doa yang tertulis didalam Hizib NW berujung “Wansyur Liwaa Nahdlatil Wathan fil Aalamin” dikandung maksud agar NW ini selalu bisa dirunut asal muasalnya dan untuk apa dia didirikan sebagai mana tertuang di dalam anggaran Dasarnya: “Izzil Islam Wal Muslimin” [mempertahankan kemurnian Islam dan turut menjaga martabat dan kehormatan Ummat Islam di mata dunia]. Namun jangan lupa tetap dengan teknis2 lokalis.
Al-hasil, semua ummat Islam, patut bersyukur atas eksistensi NW ini, sebab ia ada tidak untuk dirinya tetapi untuk semua.
APA YANG MERISAUKAN KITA?
Kini, semakin akhir zaman ini, semakin tinggi tingkat kebutuhan, dan semakin merendahnya tingkat penguasaan ilmu sosial kita, kita lebih sering menyaksikan “dorongan semangat membabi buta” yang membuat para anggota ormasy [cenderung] saling menegasi. Anda mau lihat contohnya? Yang cukup lucu pula? Ini: Ketika mula-mula jamaah NU membuat syiar dengan penghujung salam: “Wallahul muwaffiq ila aqwamitthoriq”, maka MD muncul dengan ” Nasrun Minallah”, NW juga turut meramaikan dengan “Wallahul muwaffiqu wal haadi ilaa sabiilirrasyad”. Lalu ormasy lain di Lombok turut pula dengan modifikasi-modifikasi kecil seperti “Ila sabilil Falaah”, “Ila Sabilinnajah”, “Nasrun Minallah wafathun Qoriib” dll.
Ada pula kelompok yang sekalipun tidak ada angin dan tidak ada hujan, selalu membaca Hadits “Kullu bid’atin dholaalah” sehingga pendengar dengan segera mengerti bahwa sang pembicara adalah Pembawa pedang pemusnah bid’ah, sebagian pendukungnya juga segera memahami bahwa pembicara itu adalah groupnya, maka diapun langsung bersemangat sebab dia sedang mendengar mentornya sedang bicara.
Kalau saja syiar-syiar ini dipandang dari kaca mata kreatifitas dan semangat Fastabiqul Khairat, maka nilainya adalah positif. Namun lebih banyak orang melihatnya dari kaca mata politis sehingga dikesankan sebagai “Penegasan demarkasi” [ini aku, ini kita, bukan kamu atau bukan mereka, inilah kelompok kita]. Ini jelas kebodohan cara pandang, bukan syiar itu sendiri yang keliru. Bandingkan dengan bacaan [sepertinya diwajibkan] Khatib Jum’at yang selalu membaca ayat “Innallaha yakmuru bil adli wal ihsaan . . . .etc.]
Akibat buruk dari keterbatasan tersebut menyebabkan orang-orang awam merasakan SESUATU YANG NEGATIF ketika mendengar syiar-syiar itu dibacakan. Ada atau tidak ada maksud ‘sektarian’ di dalam hati yang mengucapkannya.
Kita teringat Pak Saleh Harun, Mantan Ka.Kanwil Depag NTB yang selalu dengan senyum ketika hendak mengakhiri pidatonya dengan syiar amat panjang, dan saya juga akan mengakhiri tulisan ini dengan ungkapan yang sama:
“Wallahul muwaffiqu wal haadi ila sabilirrasyad, wa ila aqwamitthoriq, wa ila sabiilil falah, wa ila sabilinnajah, wa nasrun minallahi wafathun qoriib wa fastabiqul khairat wa bassyiril mukminin”.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Oleh: TGH. Hasanain Juaini (Sekjen PBNW)
Note: judul edited.